Minggu, 02 Mei 2010

Pengemis Terkaya Di Indonesia

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis,berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis diSurabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepedamotor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnyaterlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau berceritacukup banyak tentang hidup dan ”karir”-nya. Dari anak pasangan pengemisyang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54pengemis di Surabaya.
Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebihmenikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta dijalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalirteratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatanRp 6 juta hingga Rp 9 juta.



Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yangdidirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannyadi Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya,satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, adasatu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fitdan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004. *** Tidak mudahmenemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini ditempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil HondaCR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong,penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ”orang mampu”. Badannyakurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan.Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itutak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkansekolah dasar.
Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, priaberanak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibirorang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ”Yang pentinghalal,” ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya diajalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itumenjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurut dia,tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak danbapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ”Dulu awalnya saya diajak Emakuntuk meminta-minta di perempatan,” ungkapnya. Karena mengemis diBangkalan kurang ”menjanjikan”, awal 1970-an, Cak To diajak orang tuapindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenekdi sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertamaadalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.
Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketikaremaja, ”bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktuitu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampaspreman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga.Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ”Saya sering berkelahiuntuk mempertahankan uang,” ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurusdan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Diabahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnyadirampas.
Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantasdisegani di kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet(Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),” tegasnya.Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadiketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ”Kamiberpencar kalau mengemis,” jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkenarazia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribuuntuk membebaskan.
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis,berbagai ”ilmu” dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan.Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dansebagainya. Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadimentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat.Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribusampai Rp 50 ribu per hari. ”Pokoknya sudah enak,” katanya. Denganpenghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumahsederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikanoleh-oleh cukup mewah. ”Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorderdan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis.Dia mulai mengumpulkan anak buah. Cerita tentang ”keberhasilan” Cak Tomenyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya keSurabaya. ”Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,”ujarnya enteng. Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka caramenjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketikamereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ”Kalipertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa denganpekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,” tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayahkerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang keSurabaya Timur. Agar tidak mencolok, ketika berangkat, merekaberpakaian rapi. Ketika sampai di ”pos khusus”, Cak To dan empatrekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untukmenarik iba dan uang recehan. Hanya setahun mengemis, kehidupan empatrekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang dirumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri. Pada 1996 itupula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyuntingseorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terusmenunjukkan peningkatan…
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyakanak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada CakTo. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang diadapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut.Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 jutahingga Rp 9 juta per bulan. Menurut Cak To, dia tidak memasang targetuntuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setorsetiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ”Ya alhamdulillah,anak buah saya masih loyal kepada saya,” ucapnya. Dari penghasilannyaitu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid danmusala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap disebuah masjid di Gresik. ”Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masihhidup, banyaklah beramal,” katanya. Sekarang, dengan hidup yang sudahtergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja.”Saya ingin naik haji,” ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akanmewujudkan itu pada 2010 nanti… 









sumber:copisusu 

0 Komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More